Setop Kejahatan Kemanusiaan di Rohingya

28-08-2017 / KOMISI I

Beberapa waktu belakangan, tensi di Myanmar meningkat, yang menyebabkan ribuan warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Bahkan, pertempuran terbaru militer Myanmar dengan warga menewaskan 71 korban jiwa. Pembantaian sistematis atau genosida pemerintah Myanmar terhadap muslim Rohingya, sebagaimana diduga oleh PBB, harus diinvestigasi secara kritis.

 

“Krisis ini aib bagi para tokoh dan negara-negara yang gemar berceramah tentang hak asasi manusia. Menguji apakah kita sungguh-sungguh memperjuangkan kesetaraan dan persaudaraan manusia,” tegas Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari, dalam keterangan persnya, Senin (28/8/2017).

 

Yang lebih memprihatinkan, tambah Kharis, respon negara-negara-negara tetangga, termasuk negara-negara ASEAN maupun negara-negara mayoritas Muslim, seperti sedang melakukan ‘pingpong maritim’, dengan tujuan mencegah para pengungsi mendarat dan mendorongnya ke negara lain.

 

“Kita mengapresiasi para nelayan Aceh yang kerap memandu para pengungsi ke pantai. Begitupula lembaga-lembaga kemanusiaan yang merespon peristiwa ini dengan cepat. Sebagian bahkan sudah terlibat dalam membantu pengungsi Rohingya jauh sebelum peristiwa terakhir ini,” imbuh Kharis.

 

Politisi F-PKS itu menjelaskan, para “manusia perahu” Rohingya ini bukan sesuatu yang tiba-tiba. Gelombang eksodus yang terbaru dimulai sejak Mei 2012, sejak meletusnya konflik di wilayah Rakhine atau Arakan yang menjadikan kelompok minoritas Rohingya sebagai sasaran kekerasan. Menurut laporan dari Human Rights Watch, aparat pemerintah Myanmar yang seharusnya memulihkan keadaan justru ikut terlibat dalam konflik tersebut (Human Rights Watch, 2012).

 

Bahkan, persekusi terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar telah dimulai sejak lama. Tahun 1950-an sampai 1960-an, etnis Rohingya diakui sebagai bagian dari Myanmar. Pada tahun 1970-an pemerintah melakukan berbagai operasi militer dan berbagai mekanisme diskriminatif untuk membatasi mobilitas dan pertumbuhan orang-orang Rohingya. Akan tetapi, pada tahun 1982 rezim militer mengeluarkan orang-orang Rohingya dari kategori warga negara. Sejak saat itu, represi yang dilakukan oleh negara semakin keras.

 

“Hanya dengan melihat keberanian mereka mengambil risiko untuk terombang ambing tanpa nasib yang jelas di laut, kita seharusnya dapat memahami betapa mengerikannya penindasan yang mereka alami di Myanmar,” tambah Kharis.

 

Gelombang kekerasan terhadap orang-orang Rohingya yang terakhir ini telah memperlihatkan keterlibatan komunitas Buddha di Rakhine. Konflik yang sebelum ini bersifat ‘vertikal’ antara negara atau rezim militer versus masyarakat berubah menjadi konflik ‘horizontal’ antara masyarakat Muslim Rohingya versus masyarakat Buddha Rakhine yang lebih kompleks.

 

“Kenapa sang peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi diam? Apakah beliau takut kehilangan banyak suara dalam Pemilihan Umum atau sesungguhnya kelompok ‘pro-demokrasi’. Kita harus mengetuk hati negara-negara dunia. Krisis memperlihatkan rombongan manusia yang kurus kering dan penuh luka berdempetan di kapal-kapal yang dapat karam sewaktu-waktu. Rombongan pengungsi Rohingya tidak boleh diidentifikasi sebagai beban dan ancaman,” tegas Kharis.

 

Kharis mendorong pemerintah Indonesia membuat gagasan tentang pendirian sebuah institusi atau mekanisme pendanaan global untuk pengungsi Rohingya. Namun, hal ini harus dibarengi dengan upaya untuk menyelesaikan akar dari krisis Rohingya ini, yaitu eksklusi dan diskriminasi terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar.

 

Karena itu, dalam jangka menengah dan panjang, negara-negara ASEAN seperti Indonesia dan Malaysia, harus memulai upaya diplomasi untuk mengakhiri persekusi terhadap komunitas Rohingya di Myanmar. Harus ada upaya diplomatis untuk membuat pemerintah Myanmar merasa bahwa keuntungan melanjutkan persekusi jauh lebih kecil dari biaya yang harus ditanggung oleh pemerintahnya jika terus melanjutkannya.

 

“Tentu saja, hal ini merupakan ujian bagi ASEAN yang terkenal dengan norma ‘non-interference’-nya. Setop segera kejahatan kemanusiaan, apa gunanya ASEAN bersatu kalau tidak mampu melindungi manusia-manusia yang ada di dalamnya?,” kata politisi asal dapil Jawa Tengah itu seolah bertanya. (sf,mp)/foto:iwan armanias/iw. 

BERITA TERKAIT
Indonesia Masuk BRICS, Budi Djiwandono: Wujud Sejati Politik Bebas Aktif
09-01-2025 / KOMISI I
PARLEMENTARIA, Jakarta - Wakil Ketua Komisi I DPR RI Budisatrio Djiwandono menyambut baik masuknya Indonesia sebagai anggota BRICS. Budi juga...
Habib Idrus: Indonesia dan BRICS, Peluang Strategis untuk Posisi Global yang Lebih Kuat
09-01-2025 / KOMISI I
PARLEMENTARIA, Jakarta - Keanggotaan penuh Indonesia dalam aliansi BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) menjadi isu strategis yang...
Amelia Anggraini Dorong Evaluasi Penggunaan Senjata Api oleh Anggota TNI
08-01-2025 / KOMISI I
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi I DPR RI Amelia Anggraini mendorong evaluasi menyeluruh penggunaan senjata api (senpi) di lingkungan TNI....
Oleh Soleh Apresiasi Gerak Cepat Danpuspolmal Soal Penetapan Tersangka Pembunuhan Bos Rental
08-01-2025 / KOMISI I
PARLEMENTARIA, Jakarta - Tiga anggotaTNI Angkatan Laut (AL) diduga terlibat dalampenembakan bos rental mobil berinisial IAR di Rest Area KM...